Dampak Konflik Israel-Iran, Wamenkeu Suahasil: Terlihat Harga Komoditas Mulai Naik

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara berambisi bentrok Iran dan Israel segera mereda. Ia menilai, jika terjadi eskalasi bentrok Iran dan Israel bakal menganggu perdagangan hingga sektor finansial bumi termasuk dunia.

"Kita harapkan tidak terjadi eskalasi nan berlebihan," ujar Suahasil Nazara dalam aktivitas Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2024 di Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Suahasil menuturkan akibat bentrok Iran dan Israel mulai dirasakan perekonomian bumi maupun Indonesia.Hal itu antara lain kenaikan nilai minyak mentah mentah bumi hingga pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.

Rupiah kembali ditutup melemah 44 poin pada perdagangan Rabu sore, 17 April 2024 meski sempat melemah 70 poin di level 16.220 terhadap dolar AS dari penutupan sebelumnya di 16.176.

"Sudah mulai terlihat peningkatan-peningkatan harga komoditas di tingkat dunia, kita juga memperhatikan dampaknya kepada kurs rupiah utamanya terhadap US Dolar," ujar dia.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mewaspadai tren pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS akibat memanasnya bentrok di Timur Tengah tersebut.

"Konflik antara negara-negara di Timur Tengah, bentrok Israel dan Iran kita perhatikan dengan sangat serius," ujar  Suahasil.

Kementerian Keuangan berbareng Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus memperkuat kerjasama untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Antara lain memperhatikan variabel-variabel nan berpotensi membikin pelemahan nilai tukar mata duit Garuda lebih dalam.

"Kami di Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Bank Indonesia, OJK,  dan juga LPS dalam konteks kognitif stabilitas sistem finansial untuk menjaga stabilitas variabel-variabel nan mempengaruhi kondisi ekonomi kita," ujar dia.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WA Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Rupiah Loyo ke 16.000 per Dolar AS, Pengusaha Bakal Kurangi Produksi

Sebelumnya diberitakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tembus hingga 16.000 per dolar AS. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendinyalir beban produksi pengusaha bakal meningkat.

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan industri manufaktur Indonesia, misalnya, tetap banyak nan berjuntai pada bahan baku impor. Pelemahan rupiah dinilai bakal membuatnya jadi semakin mahal.

"Bahkan 70 persen dari total impor nasional adalah impor bahan baku/penolong industri. Ini bakal naik menjadi 80 persen jika ditambah dengan impor peralatan modal. Jadi akibat terhadap kenaikan overhead cost upaya industri manufaktur bakal sangat memberatkan," kata Shinta saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (17/4/2024).

Dia menilai, akibat negatif ini juga bakal dirasakan oleh semua subsektor manufaktur tanpa kecuali. Pasalnya, semua industri manufaktur nasional umumnya punya kebutuhan impor bahan baku alias bahan penolong dan impor barang modal.

Tekan Produksi

Shinta menaksir, bakal banyak pabrik nan berupaya menekan jumlah produksi guna mengimbangi dengan beban biaya setelah perubahan nilai tukar rupiah.

"Kami mengsinyalir gangguan terbesar justru ada di sisi supply/produksi. Kami memperkirakan bakal ada cukup banyak industri manufaktur nan menekan volume produksi lantaran kenaikan beban overhead cost nan disebabkan oleh pelemahan nilai tukar ini," jelasnya.

Dia mengatakan, ini disebabkan oleh tidak semua pelaku industri manufaktur bisa menanggung kenaikan beban overhead cost nan tinggi akibat pelemahan rupiah tadi.

"Tahun lampau saja kami lihat beberapa industri secara voluntary menghentikan produksi sementara lantaran bahan baku impor nan menjadi mahal lantaran pelemahan nilai tukar rupiah," pungkasnya.

Menteri ESDM Was-Was Harga Minyak Dunia Tembus USD 100 per Barel Imbas Konflik Iran-Israel

Sebelumnya diberitakan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif was-was nilai minyak bumi melambung hingga USD 100 per barel. Harga minyak ini terjadi ketika pasokan terganggu di masa pandemi Covid-19. 

Dia mengaku tetap menunggu perkembangan ke depan mengenai akibat bentrok Iran-Israel pada rantai pasok dunia. Dia menilai, akibat pasokan itu nan paling terasa.

“Mungkin kelak ya kargo-kargo nan berada di terusan Suez, selat Hormuz itu bisa terganggu. Kalau itu terganggu pasti suplai terganggu ini nan bisa menyebabkan kekurangan produksi," ucap Arifin usai rapat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

"Biaya logistik naik, minyak dinaikin, logistik naik, aduh kita berambisi jangan sampai seperti kaya Covid dulu itu di atas USD 100 (per barel)," dia menambahkan.

Arifin berharap, tidak ada eskalasi bentrok antara Iran dan Israel. Dia cemas jika bentrok memanas, bakal mengganggu arus rantai pasok nan akhirnya mengerek nilai minyak dunia.

"Jangan sampai eskalasi berkepanjangan makanya semua negara-negara berupaya agar jangan terjadi eskalasi berkelanjutan," ungkapnya.

Arifin mencatat, kenaikan harga minyak dunia bisa membebani kas negara dari tanggungjawab subsidi dan kompensasi energi. Maka, diperlukan upaya penghematan melalui sejumlah program.

Misalnya mengurangi konsumsi daya fossil seperti BBM. Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah menyoroti upaya tersebut.

"Kita kudu antisipasi ini memandang skenario nan mungkin terjadi, mengambil pengganti untuk bisa meredam (dampak kenaikan nilai minyak)," dia menambahkan.

Beban Subsidi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkap besaran beban subsidi dan kompensasi nan kudu ditanggung pemerintah dari kenaikan nilai minyak dunia. Tak tanggung-tanggung, ada biaya jumbo atas hitungannya.

Arifin menghitung, ketika nilai mingak bumi naik USD 1/barel maka beban subsidi dan kompensasi pemerinrah bisa naik Rp 3,5-4 triliun. Belum lagi jika ditambah dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Kalau nilai minyak naik 1 dollar (per barel) itu bisa naik sekitar Rp 3,5-4 triliun untuk kompensasi dan subsidi. Belum lagi jika rupiah tiap naik 1 dolar, Rp 100 juga cukup besar," ungkap Arifin di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Dia mengatakan, memandang besarnya pengaruh kenaikan nilai minyak bumi dan beban finansial negara tadi, masyarakat perlu irit energi. Utamanya menghemat penggunaan daya fosil seperti BBM.

"Makanya kita kudu irit energi, efisiensi daya ini kudu terus di canangkan dikerjain dan diprogramkan," tegasnya.

* Fakta alias Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran info nan beredar, silakan WA ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci nan diinginkan.

Sumber Bisnis LP6
Bisnis LP6