Menteri ESDM Minta Pengusaha Antisipasi Penerapan Pajak Karbon di 2026

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengantisipasi penerapan pajak karbon pada 2026 mendatang. Pasalnya, penerapan ini disinyalir berakibat terhadap produk-produk dalam negeri.

Arifin mengatakan sejumlah negara lain juga bakal menerapkan pajak karbon. Kemudian, ada penerapan pajak karbon lintas pemisah alias cross border carbon mechanism. Setiap produk nantinya kemungkinan bakal dibebani pajak karbon ini.

"Kami juga memandang bahwa perlunya juga kita memperhatikan kecepatan negara-negara luar dalam melakukan transisi daya kemudian juga penerapan cross broder carbon mechanism, kelak ada pajak karbon kalo kita mau melakukan transaksi perdagangan produk-produk," paparnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (20/11/2023).

Kekhawatiran

Dia khawatir, penerapan pajak karbon ini bisa mengerek nilai jual produk-produk original Indonesia. Maka, diperlukan antisipasi sebagai langkah persiapan menjelang diterapkannya pajak karbon tersebut.

"Jangan smapai kelak produk industri kita terbebani pajak karbon sehingga kita tidak kompetitif, jadi mahal, ini bakal memberikan tekanan bagi industri," tegasnya. Arifin menjelaskan, pihaknya mau mendorong potensi-potensi daya baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Dengan begitu, bakal berpengaruh pada rantsi nilai dari produk-produk yanh dihasilkan.

"Perlu ada sinkronisasi antara kita sendiri, output-nya lain. Jadi kami mau mengingatkan kembali bahwa sistem cross border karbon ini bakal efektif mulai 2026. jadi ini bisa diantisipasi di mana kelak pajak karbon crossborder itu diberlakukan jika kita tidak siap," tuturnya.

Pengenaan Pajak Karbon Lintas Negara

Lebih lanjut, Arifin menyebut, crossborder carbon mechanism merupakan penerapan pajak karbon antarnegara. Nantinya, peralatan produksi Indonesia bisa dikenakan pajak karbon negara lain, begitupun sebaliknya.

"Ya kita bisa dikenakan pajak karbon barang-barang kita, dan kita juga bisa ngenain orang lain pajak karbon. Dan kita juga bisa dikenakan pajak karbon," ungkap dia.

Menurutnya, dengan meningkatkan bauran EBT, bisa turut berkontribusi pada tingkat emisi karbon pada produk-produk nan dihasilkan.

"Kita perlu ngurangin emisi karbon sevanyak banyaknya agar bisa menolong industri kita," pungkasnya.

DJP Masih Kaji Pajak Karbon

Diberitakan sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus menyusun dengan jeli izin pajak karbon. Penyelesaian pajak karbon ini menyusul Bursa Karbon Indonesia nan sudah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo Selasa kemarin.

"Dari sisi regulasi, (DJP dan Badan Kebijakan Fiskal) menyusun penerapan pajak karbon," ungkap Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa di sela-sela Media Gathering Kemenkeu di Puncak, Bogor, Jawa Barat, ditulis Rabu (27/9/2023).

Ihsan menambahkan, penyusunan izin pajak karbon ini tentunya kudu diproses dengan memperhatikan beragam aspek nan menyertainya, salah satunya ekonomi hijau.

Ekonomi Hijau

"Bursa karbon kan sebetulnya gimana di situ ada sustainability, juga untuk pertumbuhan ekonomi juga mengingat green economy sudah menjadi perhatian dunia," jelas Ihsan.

Namun, dia juga menyebut, pajak karbon bukan tujuan utama hadirnya bursa karbon.

"Apakah bisa bursa karbon tanpa pajak karbon? Bisa saja, meski secara izin kami sudah siapkan dan saat ini sudah dalam diskusi," imbuhnya.

* Fakta alias Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran info nan beredar, silakan WA ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci nan diinginkan.

Sumber Bisnis LP6
Bisnis LP6